Mengukur Kemampuan Serapan Rumah Subsidi di Indonesia
Sampai akhir November 2025, realisasi akad KPR FLPP baru mencapai ±231.000 unit, sementara kuota nasional ditetapkan sebesar 350.000 unit. Artinya, masih ada lebih dari 119.000 unit kuota yang belum terserap menjelang penutupan tahun. Fenomena ini merupakan bagian dari pola yang sama yang muncul hampir setiap tahun, di mana serapan riil rumah subsidi cenderung maksimum di kisaran 200–260 ribu unit berdasarkan tren lima tahun terakhir. Pertanyaannya: Apakah kuota 350.000 unit di tahun 2025 ini realistis, atau bertolak belakang dengan kemampuan permintaan riil masyarakat? Dan yang lebih penting: apa akar masalahnya?
1. Data Bicara: Pola Serapan Riil Tidak Pernah Menembus 300.000 Unit
Jika menelusuri data historis program pembiayaan perumahan bersubsidi — baik di fase FLPP murni, maupun ketika mulai dipadukan dengan BP2BT dan Tapera — terlihat sebuah pola yang konsisten: Serapan tahunan tidak pernah berhasil melewati angka 300.000 unit, bahkan dalam tahun-tahun ketika insentif pemerintah cukup agresif.
Jika ditarik ke belakang, baik di era FLPP murni maupun kombinasi FLPP–BP2BT–Tapera, pola serapan menunjukkan batas psikologis:
Tren 2020–2023: Fondasi Pola Stagnasi
2020: 109.253
2021: 157.500
2022: 226.000
2023: 229.000
Dalam periode empat tahun ini, serapan rumah subsidi berada pada rentang 109.000–229.000 unit per tahun. Menariknya, angka tersebut relatif stabil meskipun suku bunga KPR berada di level rendah historis, insentif fiskal untuk rumah subsidi diperkuat, jumlah pengembang rumah subsidi bertambah signifikan, dan perhatian pemerintah terhadap backlog perumahan semakin tinggi.Stabilitas ini bukan indikator keberhasilan; sebaliknya, ia menandakan adanya batas struktural terhadap kemampuan masyarakat untuk lolos proses pembiayaan, bahkan ketika kebijakan makro berada pada kondisi akomodatif.
Tahun 2024: Ada Kenaikan, Tapi Tidak Menembus Titik Krusial
Di tahun 2024, serapan rumah subsidi tidak mampu menembus 201.000 unit (sebelumnya di tahun 2023, terserap sebanyak 229.000 unit). Hal ini lebih disebabkan oleh basis backlog akad yang tertunda selama pandemi, perbaikan ekonomi rumah tangga urban, dan dimulainya adopsi alternative data oleh beberapa bank penyalur. Namun hal ini belum cukup untuk menembus plateau struktural yang sudah terlihat sejak awal dekade.Tahun 2025: Stagnasi Kembali Terulang
Hingga akhir November 2025, serapan KPR FLPP baru mencapai 231.000 unit. Dengan sisa waktu kurang dari dua bulan siklus pembiayaan efektif, kecil kemungkinan angka tersebut mendekati 300.000 unit — apalagi menyentuh target pemerintah di 350.000 unit.
Dengan demikian, kuota 350 ribu unit secara matematis lebih tinggi 35–40% dibanding kapasitas serapan riil masyarakat dalam satu tahun kalender. Hal ini menciptakan gap ekspektasi antara apa yang diharapkan pemerintah, yakni menaikkan angka kepemilikan rumah, dan kenyataan bahwa daya akses pembiayaan rumah subsidi stagnan dalam beberapa tahun terakhir.
Jika disandingkan, fakta berikut terlihat jelas:
Serapan historis stabil di ~200.000–229.000 unit
Kuota pemerintah 2025 = 350.000 unit
Artinya: kuota lebih tinggi sekitar 35–40% dari kapasitas aktual masyarakat dalam mengakses KPR subsidi. Ini bukan sekadar perbedaan angka, tetapi gap ekspektasi struktural yang menandakan beberapa hal berikut:
1. Pemerintah mendorong kuota berdasarkan niat baik (mendorong kepemilikan rumah), tetapi tidak memperhitungkan bottleneck pembiayaan yang persisten. Pemerintah melihat backlog jutaan keluarga → maka logika kebijakannya: Naikkan kuota setinggi mungkin. Namun backlog ≠ kemampuan akad. Backlog adalah desire, bukan capacity.
2. Sistem pembiayaan rumah subsidi memiliki batasan natural yang belum terpecahkan selama bertahun-tahun. Batasan tersebut meliputi:
Profil pendapatan yang tidak kompatibel dengan standar underwriting bank,
Pertumbuhan harga rumah subsidi yang lebih cepat dari pertumbuhan pendapatan riil,
Lemahnya dukungan pembiayaan konstruksi bagi pengembang kecil,
Distribusi proyek yang sering tidak selaras dengan pusat ekonomi,
Tingginya biaya awal di luar cicilan yang belum mendapatkan intervensi optimal.
Dengan kata lain, meskipun kebutuhan rumah sangat besar, kemampuan untuk menyerap pembiayaan justru tidak bergerak naik secara signifikan.
3. Kenaikan kuota tanpa intervensi struktural hanya akan melahirkan “angka target” yang tidak berdampak riil. Tanpa perubahan mendasar di sisi pembiayaan konstruksi, mekanisme penilaian kredit bagi pekerja informal, konektivitas data supply-demand nasional, efisiensi biaya awal akad, dan juga kemitraan pembiayaan non-bank, maka pola stagnasi akan terus berulang.
2. Apa Masalah Pola Serapan Riil Tidak Pernah Menembus 300.000 Unit?
a. Keterbatasan Penghasilan Riil yang Tidak Mengejar Kenaikan Harga Rumah
Kendala utama serapan rumah subsidi bukanlah kurangnya minat, melainkan ketidakselarasan antara pertumbuhan pendapatan dan pertumbuhan harga rumah. Mayoritas target penerima KPR subsidi memiliki penghasilan:
Rp4–6 juta untuk wilayah urban,
Rp3–4 juta di semi-urban.
Namun kenaikan pendapatan riil kelompok ini dalam 4–5 tahun terakhir bergerak hanya 3–4% per tahun, jauh di bawah kenaikan biaya hidup dan inflasi rumah tangga non-makan. Dalam periode yang sama, harga rumah subsidi naik mengikuti kenaikan harga material, penyesuaian harga lahan, kenaikan biaya konstruksi, dan adanya inflasi upah tenaga kerja. Kenaikan harga rumah subsidi rata-rata berada di 5–7% per tahun — lebih tinggi dibanding kenaikan pendapatan, akibatnya, meskipun skema KPR subsidi menawarkan cicilan tetap, biaya awal menjadi semakin berat.
Di sisi lain, pengguna rumah subsidi menghadapi beberapa biaya non-cicilan, seperti uang muka (yang secara praktik sering lebih besar dari ketentuan formal), biaya notaris/PPAT, BPHTB, biaya administrasi dan pengurusan dokumen, dan biaya tambahan lapangan (yang seringkali tidak terstandarisasi). Total biaya awal ini tidak jarang mencapai 8–12 juta rupiah, bahkan lebih untuk wilayah tertentu. Bagi rumah tangga dengan penghasilan 3–5 juta rupiah, angka ini adalah barrier terbesar untuk masuk ke akad, terlepas dari cicilan yang sebenarnya masih terjangkau. Inilah sebabnya: permintaan tinggi, tetapi kemampuan akad stagnan.
b. Rasio Kredit Bermasalah di Segmen Informal Menghambat Penyaluran
Sektor pekerja informal adalah tulang punggung permintaan rumah subsidi (60%+ dari workforce Indonesia). Namun bank masih kesulitan melakukan underwriting yang akurat untuk segmen ini, sehingga approval rate-nya rendah, bukan karena tidak ada peminat. Akar masalah dari fenomena ini adalah data penghasilan yang tidak terdokumentasi, dimana dari sudut pandang Bank dan lembaga keuangan, calon debitur dari sektor ini: Tidak memiliki slip, penghasilan fluktuatif, tidak ada histori kredit formal, dan aktivitas transaksi sering tidak tercatat.
Bank pada akhirnya menggunakan standar underwriting konvensional, padahal struktur pendapatan informal bersifat variatif dan non-linear.
Di sisi lainnya, karena keterbatasan data, bank menilai risiko kredit segmen informal lebih tinggi, sehingga approval rate jauh lebih rendah, target penyaluran tidak tercapai, dan pipeline pemohon banyak yang mentok di tahap verifikasi. Padahal secara ekonomi, pekerja informal tetap memiliki kemampuan membayar, hanya saja tanpa bukti formal.
Dalam melihat pola kemungkinan terjadinya gagal bayar, persepsi potensi resiko terus membayangi pemberian kredit pada calon debitur dari sektor informal ini. Di sejumlah bank penyalur NPL (non performing loan) segmen informal relatif lebih tinggi dibanding segmen formal, menyebabkan bank memperketat syarat dokumen maupun skoring.
c. Kapasitas Pengembang di Lapangan Tidak Merata
Di sisi supply, masalah terbesar bukan hanya kurangnya proyek, tetapi ketidakmerataan kapasitas pengembang, terutama pada pemain kecil dan menengah. Banyak pengembang kecil yang belum formal dalam manajemen proyek, terkendala pembiayaan konstruksi, dan gagap terhadap standar kualitas dan kepatuhan teknis. Akibatnya, stok rumah yang benar-benar siap akad tidak sebanyak yang dibutuhkan untuk mengejar kuota nasional.
Mayoritas pengembang rumah subsidi menggunakan modal kerja terbatas, tidak punya akses pembiayaan konstruksi yang terstruktur, sehingga proses pembangunan lambat atau bertahap mengikuti arus kas. Tanpa percepatan konstruksi, unit siap akad tidak cukup, sehingga serapan nasional tidak bergerak signifikan.
Pengembang kecil juga sering menghadapi kurangnya sistem manajemen proyek profesional, infrastruktur konstruksi yang tidak standar, kesulitan memenuhi spesifikasi teknis yang diwajibkan pemerintah, dan ketertinggalan dalam digitalisasi proses. Akibatnya, banyak unit tidak siap verifikasi bank meskipun permintaan tinggi.
Dari sisi lokasi proyek, sebagian proyek rumah subsidi dibangun di lokasi terjangkau (harga lahan murah) tetapi jauh dari pusat aktivitas ekonomi tenaga kerja informal. Demand mungkin ada, tetapi tidak cukup kuat untuk berubah menjadi akad ketika konsumen mempertimbangkan biaya transportasi dan waktu tempuh harian.
Kendala-kendala di atas membuat stok rumah subsidi yang benar-benar selesai dibangun yang memiliki legalitas lengkap, memenuhi standar teknis, siap untuk menerima inspeksi bank, jumlahnya jauh lebih sedikit dari kuota yang ditargetkan.
3. Apakah Kuota 350.000 Unit Tahun 2025 Melawan Data Demand Riil?
Jawabannya: tidak sepenuhnya melawan, tetapi menurut pandangan kami di Grit Prospera, tidak sinkron dengan kapasitas serapan riil yang terbukti stabil di “range tertentu”. Mengapa? Karena kebutuhan backlog rumah subsidi sangat besar (lebih dari 8 juta unit), tetapi kemampuan melakukan akad tidak sama dengan kebutuhan.
Demand = keinginan membeli rumah
Serapan = kemampuan lolos proses pembiayaan
Dalam konteks rumah subsidi:
Demand sangat besar → jutaan keluarga ingin membeli;
Tetapi serapan sangat terbatas → hanya ratusan ribu unit yang benar-benar lolos proses akad setiap tahun.
Pemerintah menetapkan kuota berdasarkan estimasi kebutuhan, bukan kapasitas pembiayaan aktual. Di titik ini, Grit Prospera memandang bahwa gap tersebut menunjukkan perlunya strategi baru, bukan sekadar menaikkan kuota tahun ke tahun. Selama bertahun-tahun tidak ada satu pun tahun ketika serapan nasional menyentuh 300.000 unit. Sementara pemerintah langsung menetapkan target 350.000 unit, atau sekitar 35–40% di atas kapasitas riil.
Angka ini secara ambisius ingin mendorong peningkatan kepemilikan rumah, menekan backlog, memperkuat peran pengembang subsidi, tetapi tidak memperhitungkan stagnasi pendapatan kelompok sasaran, keterbatasan rasio kelayakan kredit, kemampuan pengembang menyediakan stok siap akad dalam jumlah besar, distribusi geografis proyek yang tidak selaras dengan pusat pekerjaan, dan bottleneck administrasi & legal yang membuat proses akad lambat. Sehingga, kuota 350.000 unit menjadi “goalpost” yang secara struktural sulit tercapai.
Grit Prospera memandang bahwa permasalahannya bukan pada angka kuota, tetapi pada ekosistem. Selama ekosistem pembiayaan tidak berubah, menaikkan kuota hanya menghasilkan gap antara rencana dan realisasi, penumpukan backlog akad tertunda, siklus “kejar angka” di akhir tahun yang tidak efektif, dan tekanan pada pengembang kecil yang tidak siap secara finansial dan administratif. Sebaliknya, bila pemerintah menyusun kuota berdasarkan kapasitas pembiayaan aktual masyarakat (real purchasing capacity), kesiapan pasokan stok siap akad, kemampuan bank menyalurkan kredit secara efisien, dan dukungan pembiayaan konstruksi bagi pengembang kecil, maka kuota menjadi alat kebijakan, bukan sekadar angka target.
Dari sudut pandang sebuah firma aset manajemen alternatif yang fokus pada sektor properti, Grit Prospera melihat bahwa gap kuota–serapan adalah bukti bahwa model pembiayaan tradisional tidak lagi cukup. Empat alasan strategisnya:
1) Demand besar tidak berarti daya serap besar
Tanpa reformasi pembiayaan (khususnya segmen informal), serapan akan tetap stagnan.
2) Supply tidak dapat mengejar kuota tanpa pembiayaan konstruksi yang sehat
Pengembang kecil menanggung peran besar, tetapi akses modal mereka terbatas.
3) Kuota besar di atas kapasitas riil menciptakan ilusi optimisme
Padahal persoalannya struktural, bukan administratif.
4) Kolaborasi pemerintah–swasta adalah kunci
Bukan dengan menaikkan angka kuota, tetapi dengan mengubah mesin penyerapan melalui pembiayaan alternatif, model kemitraan yang terstandardisasi, data underwriting berbasis aktivitas ekonomi riil, dan tata kelola supply chain pengembang yang lebih profesional.
4. Apa yang Dapat Dilakukan Pemerintah Indonesia? Rekomendasi Kunci dari Grit Prospera
1) Menjalin Kemitraan Strategis dengan Private Credit & Private Capital
Pemerintah dapat membuka ruang bagi private credit fund, mezzanine finance, dan juga pembiayaan konstruksi non-bank terstruktur. Skema ini membantu pengembang kecil menambah kapasitas pembangunan, mempercepat stok siap akad.
2) Mendorong Standarisasi Penilaian Pekerja Informal
Sangat mendesak bagi pemerintah dan bank untuk mengadopsi credit scoring berbasis transaksi digital, integrasi data e-commerce, e-wallet, payroll apps, dan juga alternative data modelling. Ini akan memperluas pool peminjam yang eligible.
3) Fasilitasi Platform Kolaboratif Data Supply–Demand Nasional
Diperlukan dashboard real-time antara bank penyalur, Kementerian PKP, pengembang, dan lembaga pembiayaan alternatif. Tujuannya: memastikan kuota tahunannya selaras dengan kapasitas serapan nyata, bukan sekadar optimisme.
4) Mengarahkan Pembangunan ke Kawasan Ekonomi Produktif
Pemerintah perlu lebih tegas memetakan area industri prioritas, area berpopulasi produktif tinggi, dan kawasan pertumbuhan baru. Rumah subsidi harus dekat pusat kerja, bukan sekadar lahan yang murah.
5) Reformasi biaya awal akad (biaya notaris, legal, BPHTB)
Kebijakan pembiayaan rumah subsidi akan lebih berdampak bila biaya awal distandarisasi, diberi insentif tambahan, dan prosesnya dipermudah secara digital.
6. Penutup
Kita perlu membaca fakta apa adanya: Permintaan rumah subsidi di Indonesia sangat besar, tetapi kapasitas serapan riil stagnan dalam pola 200–229 ribu unit/tahun. Kuota 350.000 unit di 2025 hanya dapat tercapai bila pekerja informal masuk sistem pembiayaan, distribusi unit lebih dekat pusat ekonomi, pembiayaan konstruksi diperkuat, dan adanya kolaborasi pemerintah–swasta yang dibangun secara serius.
Grit Prospera berkomitmen menjadi mitra strategis dalam ekosistem ini. Mmenghadirkan skema pembiayaan alternatif, analisis independen, dan desain kemitraan yang mampu meningkatkan kapasitas serapan nasional. Dengan pendekatan data-driven, kolaboratif, dan terstruktur, Indonesia dapat memastikan bahwa rumah subsidi bukan hanya kuota, melainkan solusi nyata bagi jutaan keluarga.
Ingin mengenal layanan Grit Prospera lebih dalam?
Jika Anda adalah rekan Pengembang yang ingin mempercepat konstruksi, memperluas proyek, atau mencari skema pendanaan yang lebih modern dan fleksibel—kami dapat membantu. Hubungi tim Grit Prospera untuk konsultasi awal dan penilaian proyek. Mari bangun ekosistem pembiayaan perumahan yang lebih kuat di Indonesia.
About GP Insights
GP Insights is Grit Prospera’s official thought-leadership series, published four times a week, offering analysis on real asset investment trends, credit innovations, and housing finance strategies across emerging markets | GRIT PROSPERA NUSANTARA ALL RIGHTS RESERVED.
About Grit Prospera
We are an integrated private firm specializing in bridging both private credit and private equity across the housing and real estate value chain. Through its dual-capital approach, Grit Prospera provides flexible and strategic partnerships to developers, infrastructure ventures, and related enterprises, enabling scalable, ESG-aligned growth across Indonesia’s property sectors. | www.gritprospera.com